24 Mei 2013




Mari sejenak kita ingat-ingat kembali pelajaran sejarah waktu di SMP dulu, ada pembahasan yang sangat menarik mengenai jenis-jenis manusia purba yang konon katanya sebagai nenek moyang kita (kita?? elu aja kali!!) hehe…. yang jelas, kita tetep kudu yakin dan percaya bahwa nenek moyang kita adalah nabiyulloh Adam ‘alaihissalam.

Diantara jenis manusia purba yang ketika itu disebutkan oleh guru sejarah dan hingga kini masih saya ingat adalah Pithecanthropus Erectus, Meganthropus paleojavanicus, Homo Soloensis dan sebagainya. Umumnya masing-masing jenis manusia purba tersebut memiliki ciri khas yang membedakan satu dengan lainnya. Kalau dari jenis manusia purba yang saya sebutkan di awal tadi tentunya sudah tidak ada lagi saat ini, atau kita masih bisa menjumpai fosilnya saja di museum-museum pra sejarah. Tetapi belakangan ini muncul kembali evolusi dari manusia-manusia purba tersebut, tidak percaya? Silakan baca artikel ini hingga selesai.

Berdasarkan pengamatan saya ada satu spesies manusia “purba” lagi yang baru-baru ini sering muncul di sekitar kita, namanya PHESBUCANTHRUZ GALAUENSIS. berikut ciri-cirinya:
#Berjalan membungkuk (mata selalu menatap layar HP)
#Hidup terpisah dari kelompoknya
#Kalaupun berkelompok biasanya asyik sendiri-sendiri
#Memiliki keterampilan khusus dalam bidang penggerakan ibu jari dengan kecepatan luar biasa  di atas keypad
#Jika sedang sedih, seluruh isi hatinya dilukiskan melalui keypad menggunakan ibu jari tersebut
#Sering mengeluh, sedih, dan sebagainya minimal satu jam sekali, bahkan ada juga yang setiap menit mengeluarkan ke-galau-annya
#Selalu aktif dalam kegiatan POSKAMLINK (Posting, komentar dan berbagi LINK)
#Umumnya jenis spesies ini bertebaran di berbagai WALL nusantara.


*semua yang ada dalam artikel ini hanyalah gurauan semata, jika ada kesamaan nama, sifat, watak, maupun karakter itu memang disengaja! :)

BACA ATURAN PAKAI,  
JIKA SAKIT BERLANJUT PENTUNGI DOKTER!
(nawizam)


just for fun.. cooling down before "pilgub jateng" betul...betull...betulll....



20 Mei 2013



“tadi malam kamu habis tahajud ya?” Tanya seseorang kepada temannya, “kok tau?” jawab yang ditanya dengan ekspresi “agak bingung”. 

Petikan dialog di atas bukanlah rayuan a la anak muda jaman sekarang, bukan pula dialog dalam sebuah drama mini seri yang sering tayang di televisi namun dialog tersebut sangat mungkin terjadi di lingkungan kita atau bahkan kita sendiri sebagai pelakunya. Ya, seiring berkembangnya teknologi informasi dengan berbagai inovasi serta kecanggihannya sangat memungkinkan bagi seseorang untuk mengetahui gerak-gerik teman, saudara, atau siapapun tiap hari bahkan tiap jam atau tiap menitnya. Kalau di film era 90-an terkenal istilah “kaca benggala” atau “paso benggala” milik Mak Lampir yang bisa melihat keberadaan seseorang dari jarak jauh dengan hanya membacakan mantera lalu melihat ke bejana yang berisi air maka di era sekarang pun bisa demikian. Bedanya, di jaman sekarang tidak menggunakan media “paso benggala” lengkap dengan manteranya tetapi cukup melalui media sosial/jejaring sosial dan semacamnya yang bisa diakses melalui internet.

Melalui status facebook ataupun “kicauan” seseorang di twitter maka dengan mudah sahabat (teman, follower atau apapun istilahnya)nya akan mengetahui keberadaan dan segala aktivitas yang sedang dilakukan oleh orang tersebut. Tentunya tergantung dari kebiasaan seseorang tersebut juga, karena tidak semua orang suka meng-update status aktivitas atau foto-foto aktivitas pribadinya. Dalam hal ini saya ingin menyoroti tipikal orang yang suka meng-update aktivitas dan foto-foto aktivitas pribadinya. Ada yang salah? barangkali, barangkali sedikit barangkali juga banyak hehe….

Di dunia maya mudah sekali menemukan tipikal orang yang super duper eksis, biasanya orang dengan tipikal seperti ini akan meng-update statusnya tiap jam bahkan tiap menit. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi dia akan senantiasa berbagi aktivitas kepada teman atau followers-nya. Seandainya bisa update status lewat alam mimpi mungkin orang dengan tipikal seperti ini tidak segan-segan untuk membagi mimpinya (hehehe.. kalo ini sih kelewatan namanya). Kita tidak tau persis apa sebenarnya motivasi orang-orang tersebut berlaku demikian. Hal ini masih agak bisa dimaklumi untuk hal-hal yang sifatnya umum, akan tetapi akan lain ceritanya jika yang dibagikan adalah-adalah aktivitas pribadi apalagi yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ukhrowi (yang berhubungan dengan akhirat). Shalat berjamaah dia kabarkan, shalat dhuha dan tahajjud juga dia kabarkan, shaum sunnah pun dia kabarkan.

Foto: status facebook

kenapa? masalah? Bangettt!! Tidak seharusnya hal-hal yang kaitannya dengan amalan yang kita niatkan untuk Alloh kita kabarkan kepada semua orang karena kita tau betapa susahnya menjaga keikhlasan dalam setiap amalan-amalan yang kita lakukan. Salah-salah malah bisa menjadi riya’ baik secara sadar maupun tidak sadar. Bukankah Rosul sendiri yang mengabarkan bahwa riya’ itu termasuk syirik kecil yang keberadaannya diibaratkan bagaikan semut hitam yang berada di batu hitam di kegelapan malam. Bayangkan betapa susahnya untuk dilihat? Oleh karena itu hendaknya kita lebih berhati-hati lagi dalam memanfaatkan media dan teknologi yang ada. Teliti kembali saat menuliskan status, twit, atau sekedar keisengan di media sosial belaka. Salah-salah malah menimbulkan riya’ dan sia-sialah amalan kita karenanya. So, hati-hati dengan jemarimu? eh.. maksudnya dengan jemari kita! :) wallohu a’lam. (nawizam) 


gambar pinjem dari --> http://www.memetics.com/wp-content/uploads/2013/01/Learn-All-About-Audio-Formats-And-Their-Usage-At-Typing-Firms.jpg

17 Mei 2013




Saat ini kita berada di bulan Rajab, salah satu bulan yang diistimewakan oleh umat Islam. Pada bulan inilah terjadi peristiwa bersejarah bagi kaum muslimin yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj. Dimana Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam menempuh perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa kemudian dinaikkan hingga langit ke tujuh hanya dalam waktu satu malam. Tidak hanya itu, di bulan ini (Rajab) juga untuk pertama kalinya Rosululloh mendapatkan perintah Shalat lima waktu.

Istilah “berkat” ini berarti nasi lengkap dengan lauk pauk yang di bungkus dalam satu wadah atau di daerah lain ada yang menyebutnya “besek

Untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut, di beberapa tempat menyelenggarakan peringatan Isra’ Mi’raj. Umumnya peringatan Isra’ Mi’raj diisi dengan pengajian (tausiyah) yang dihadiri oleh kaum muslimin. Ada fenomena yang menarik terkait peringatan Isra’ Mi’raj di daerah saya, ada sebagian masyarakat yang mengadakan pengajian dan membuat “berkat” sebagai shodaqohan. Istilah “berkat” ini berarti nasi lengkap dengan lauk pauk yang di bungkus dalam satu wadah atau di daerah lain ada yang menyebutnya “besek”. Berkat atau Besek atau apapun itu namanya dibagikan kepada peserta pengajian yang hadir sebagai “oleh-oleh” dari acara peringatan Isra’ Mi’raj tersebut. Tidak hanya itu, ada di suatu daerah yang masyarakatnya masih memegang erat tradisi turun temurun. Mereka membuat “berkat” dengan isi yang luar biasa banyaknya. Kalau umumnya berkat berisi nasi dengan lauk seadanya, mereka melengkapinya dengan minuman dalam kemasan, terkadang adapula sarung bahkan pakaian. Kalau menurut saya hal ini agak sedikit berlebihan (terlepas saya tidak tau apa motivasi mereka melakukan hal itu).

Foto: penampakan "berkat"

Ngaji atau pengajian itu seharusnya yang menjadi tujuan utamanya adalah mencari ilmu dan keberkahan karena menghadiri majelis ilmu. Tetapi siapa yang bisa menjamin jika niatan mencari ilmu itu bisa tetap terjaga ketika ada panitia yang “sengaja” berlomba-lomba dalam menyediakan “berkat” istimewa? Atau, kalaupun peserta yang hadir tidak mempermasalahkan berkat yang akan mereka dapatkan apakah para warga masyarakat penyelenggara semuanya legowo menuruti instruksi panitia untuk membuat berkat jenis ini dan itu sebanyak yang dibebankan kepadanya? Oleh karena itu, saya mengajak (terutama) diri saya sendiri dan kita semua untuk berfikir kembali. Niat yang baik sudah seharusnya diikuti dengan perbuatan yang baik pula. Jangan mengalihkan niat untuk mencari ilmu hanya karena ada embel-embel berkat yang hendak di dapat. Bagi penyelenggara juga hendaknya dikoreksi kembali, apakah kebijakan yang diterapkan selama ini sudah melalui pemikiran matang untuk kemaslahatan bersama atau hanya mengikuti tradisi dan kebiasaan yang sudah ada.

Sedikit banyaknya peserta yang hadir bukanlah semata-mata indikator kesuksesan sebuah acara pengajian (majelis ilmu) tetapi lebih dari itu, bagaimana hadirin bisa menyerap ilmu yang diberikan Sang Da’I serta memperoleh ridho Alloh Subhanahu wata’ala karena niat yang ikhlas karena Alloh bukan karena besar kecilnya “berkat” yang didapat. Tulisan ini saya buat semata-mata karena kekhawatiran akan adanya disorientasi dalam masalah pengajian “semacam” ini. Yang seharusnya niat karena Alloh menjadi karena yang lainnya. Sebenarnya kita tidak perlu berlomba-lomba dalam keistimewaan berkat jika kita semua sadar dan mau berbesar hati untuk mengakui bahwa esensi/inti dari acara pengajian adalah mencari ilmu dan ridho Alloh Subhanahu wata’ala. Kenapa kita tidak berfikir untuk semakin menyederhanakan “berkat” nya saja, misal diganti dengan snack sehingga masyarakat dari kalangan menengah kebawah tidak merasa terbebani. Saya yakin sebagian masyarakat ada yang merasa terbebani dengan ketentuan membuat “berkat” ini dan itu sejumlah tertentu namun sayangnya tidak banyak yang berani mengungkapkannya kepada panitia penyelenggara. Atau kalaupun berani belum tentu pihak panitia mau mengoreksi kebijakannya dengan dalih mengikuti tradisi yang ada. Wallohu a’lam bisshowab. (nawizam)

8 Mei 2013



Beberapa waktu lalu Saudara saya mengirim pesan singkat (sms) yang diawali dengan salam (saya yakin niatnya seperti itu) namun apa yang terjadi ternyata dalam penulisannya, Saudara saya itu terlewat satu huruf yang seharusnya tertulis “Assalamu’alaikum” menjadi “Assaamu’alaikum”. Seketika itu saya kaget dan teringat sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, dari Anas bin Malik berkata,

مَرَّ يَهُودِىٌّ بِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ السَّامُ عَلَيْكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « وَعَلَيْكَ » . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ قَالَ السَّامُ عَلَيْكَ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَقْتُلُهُ قَالَ « لاَ ، إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ »

“Ada seorang Yahudi melewati Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengucapkan ‘as saamu ‘alaik’ (celaka engkau).” Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam lantas membalas ‘wa ‘alaik’ (engkau yang celaka). Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah kalian mengetahui bahwa Yahudi tadi mengucapkan ‘assaamu ‘alaik’ (celaka engkau)?” Para sahabat lantas berkata, “Wahai Rosululloh, bagaimana jika kami membunuhnya saja?” Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan. Jika mereka mengucapkan salam pada kalian, maka ucapkanlah ‘wa ‘alaikum’.” (HR. Bukhari no. 6926)

mengingat hal itu saya hanya tersenyum saja dan saya yakin betul bahwa Saudara saya tidak ada maksud sama sekali untuk berbuat seperti orang yahudi yang ada dalam hadits di atas. Oleh karenanya kita harus lebih hati-hati dan teliti ketika hendak menuliskan salam baik untuk kepentingan sms, bbm, chatting, dan lain sebagainya. Hendaknya kita teliti betul apakah sudah bener tertulis “Assalamu’alaikum” atau ada huruf yang terlewat karena salam adalah doa dan doa adalah permohonan kepada Yang Maha Pemurah lagi Maha Kaya.

Ada lagi fenomena menyingkat salam dengan “ASS WR WB” atau “ASS” saja, padahal dalam bahasa Inggris kata “ass” berarti (maaf) “pantat”. Jadi sebaiknya kita tidak menyingkat salam (doa) untuk Saudara kita atau kita mau Alloh mengabulkan doa dengan sepotong-sepotong dan singkat? Kalau untuk mendoakan Saudara kita saja kita begitu pelit, lalu bagaimana Alloh akan membalas doa kita?

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir (Raqibun Atid)". (QS Qaaf 18)

Jika "assalamu ‘alaikum warohmatullohi wabarokatuh" terasa terlalu panjang, maka biasakan dengan "Salaam ‘alaikum" maka jawabannya pun cukup singkat "'alaikum Salaam" dan setiap huruf akan dilipatkan pahalanya 10 kali kebajikan. (nawizam)

referensi:
nasihat Ustadz Fuad Al Hazimi
http://muslim.or.id/aqidah/membalas-salam-non-muslim.html

2 Mei 2013



Tadi malam sempat menyaksikan diskusi (baca: debat) di salah satu TV lokal Semarang, narasumbernya dari berbagai ormas Islam yang cukup familiar di negeri ini. Sayang sekali diskusi (debat) yang harusnya mencari solusi tersebut malah lebih cenderung menghakimi salah satu ormas "baru" yang dianggap "membahayakan" persatuan dan kesatuan kaum muslimin di Indonesia. Ada satu momen yang perlu saya garis bawahi, dan masih sangat jelas dalam ingatan saya saat dimana salah satu tokoh ormas—yang meng-klaim sebagai "omas besar" dan memiliki pengikut yang banyak—mengatakan kepada kubu yang lain dengan perkataan yang sungguh tidak pantas diucapkan oleh seorang panutan umat. Dia,tokoh ormas tersebut,berkata kepada ormas “baru” itu “mereka ini anak kemarin sore dan belum lama ngaji, tahu apa mereka?”

tidak hanya itu, dia juga berulang kali memotong pembicaraan pihak lain yang sedang berusaha mengklarifikasi pertanyaan-pertanyaan dari pembawa acara dengan kalimat-kalimat yang semakin menunjukkan kalau dia berbicara atas dasar nafsu semata. Sungguh sangat tidak layak dan sangat jauh dari akhlak para ulama-ulama generasi terbaik umat ini yaitu generasi para shahabat dan tabi’in dimana mereka—para shahabat dan tabi’in—lebih mengedepankan sifat lemah lembut dan menghargai pendapat orang lain sekalipun usianya jauh lebih muda darinya.

Masih ingatkah kita kisah amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz dengan putranya (Abdul Malik)? Ketika itu beliau (Umar bin Abdul Aziz) dalam keadaan luar biasa lelah setelah seharian berurusan dengan urusan kaum muslimin. Sesampainya di rumah beliau hendak qailulah (tidur sejenak menjelang dzuhur) untuk mengurangi sedikit rasa lelahnya. Namun seketika itu juga datanglah Abdul Malik dan berkata, “Apakah ayah hendak tidur sebelum mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi?” Amirul mukminin menjawab, “Wahai anakku, aku telah begadang semalaman untuk mengurus pemakaman pamanmu Sulaiman, nanti jika tiba waktu dhuhur aku akan shalat bersama manusia dan akan aku kembalikan hak orang-orang yang dizalimi kepada pemiliknya, insya Alloh.” kemudian Abdul Malik berkata lagi, “Siapa yang menjamin bahwa Anda masih hidup hingga datang waktu dhuhur wahai amirul mukminin?”. Seketika itu juga Umar bin Abdul Aziz terhenyak dan hilanglah semua rasa kantuk yang ada pada diri beliau, kembaililah semua kekuatan dan tekad pada jasadnya yang telah lelah, beliau berkata “Mendekatlah engkau Nak, segala puji bagi Alloh yang telah mengeluarkan dari tulang sulbiku seorang anak yang dapat membantu melaksanakan agamaku.”

Sungguh betapa luar biasanya akhlak seorang ayah sekaligus seorang pemimpin umat yang mau mendengarkan dan melaksanakan nasihat “anak kemarin sore” yang tidak lain adalah putranya sendiri, Abdul Malik. Hal itu membuktikan bahwa beliau (Umar bin Abdul Aziz) adalah pribadi yang jujur terhadap kebenaran dan membuang jauh-jauh sifat sombong yang senantiasa menolak kebenaran karena alasan ini dan itu. Shahabat ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah berkata :

إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenali melalui orang-orang, namun kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenali orang-orangnya”.

Jadi, apa yang salah dengan “anak kemarin sore” jika yang mereka katakan dan suarakan adalah kebenaran, tentunya kebenaran yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah yang shahih.

wallohu a’lam bisshowab.
(muslimisme/nawizam)