14 Jun 2013


Istilah “mantan” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sebenarnya berarti  bekas pemangku jabatan (kedudukan) namun dalam keseharian kita terutama anak muda, istilah mantan itu selalu konotasinya mengarah ke “bekas pacar/gebetan”. Yah.. begitulah kita sering mendengar dan menggunakan kata “mantan” tersebut untuk menyebut seseorang yang sudah tidak kita miliki lagi. Pada hari Minggu, 9 Juni 2013 lalu digelar pertandingan bertema Corazon Classic Match antara Real Madrid Legend vs Juventus Legend. Dalam pertandingan tersebut mempertemukan para legenda hidup dari kedua tim sepakbola asal Eropa tersebut. Beberapa pemain yang tampil dalam laga tersebut sangat saya kenal (atau lebih tepatnya tahu) terutama para punggawa Juventus yang bermain di akhir era 90-an seperti Moreno Toricelli, Paolo Montero, Angelo Peruzzi, Zinedine Zidane, dan lain sebagainya.

Saya sangat mengenali wajah-wajah mereka karena memang sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah gemar menyaksikan sepak bola Eropa, khususnya liga Italia Serie-A (karena pada waktu itu begitu heboh di negeri kita). Nah, satu-satunya klub yang saya sukai ketika itu adalah Juventus. Saking sukanya saya dengan klub asal kota Turin tersebut  sampai-sampai ayah saya (Allohu yarkham) selalu memanggil dengan sebutan “pentus” saat membangunkan saya. Tidak hanya itu, saya selalu mengikuti perkembangan klub tersebut mulai dari nama para pemain berikut nomor punggunya saya hafal di luar kepala ketika itu dan saya selalu membanggakan mereka di depan teman-teman pendukung tim lain. Hal itu terus berlangsung hingga saya remaja dan beranjak dewasa.

Nah, kembali lagi ke urusan mantan. Dahulu, karena saking cintanya saya dengan klub berjuluk La Vecchia Signora (Si Nyonya Tua) alias Juventus maka seolah-olah Juventus adalah kekasih saya. Saya akan bahagia ketika tim meraih kemenangan demi kemenangan serta kejuaraan dan akan sedih ketika tim tersebut kalah. Ternyata fenomena seperti ini tidak hanya saya seorang yang mengalaminya, beberapa teman juga ada yang berperilaku demikian. Bahkan pernah ketika SMP dulu ada teman yang tidak masuk sekolah hanya karena tim kesayangannya kalah dan dia malu kalau-kalau menjadi bahan ejekan teman-teman lainnya di sekolah. Ada pula teman yang rela nraktir bakso atau mie ayam karena tim kesayangannya menjadi juara kompetisi di akhir musim. Masya Alloh…. kalau teringat kejadian-kejadian itu saya sering senyum-senyum sendiri (tentunya setelah memilih tempat dan waktu yang tepat, hehe…)

Seiring berjalannya waktu dan semakin beranjak dewasa saya mulai berpikir bahwa apa yang selama ini saya lakukan itu tidak baik dan tidak sesuai dengan fitrah sebagai seorang muslim. Fanatisme dan militansi yang tidak semestinya saya berikan kepada tim sepak bola yang tidak memberikan manfaat apa-apa pada kehidupan saya sudah melalaikan dari apa yang semestinya saya berikan untuk dien (agama) dan untuk Alloh. Semakin hari semakin jauh dan semakin renggang hubungan saya dengan Juventus dan akhirnya dengan berat hati saya katakan “putus” dari Juventus dan segala bentuk fanatisme serta militansi kepadanya yang selama ini saya berikan, hiks.. hiks…  (nglebay).

Lama sekali tidak mengikuti perkembangan informasi tentang klub tersebut membuat saya terkejut ketika pada 2011 lalu mendengar kabar bahwa “mantan kekasih” meraih gelar scudetto-nya yang ke 30 setelah sempat terbenam ke Serie-B karena kasus Calciopoli. Tersirat rasa bahagia dalam diri ini layaknya mendapat kabar gembira dari seseorang yang pernah dicintai selama bertahun-tahun di masa lalu namun segera saya sadar bahwa toh itu tidak akan mempengaruhi kehidupan pribadi saya. Apakah ini pertanda saya sudah bisa move on darinya? hehe… Sebagai penggemar sepak bola akan lebih nyaman ketika kita menyaksikan sebuah pertandingan tanpa adanya fanatisme (berlebihan) pada tim tertentu, itu berarti bahwa siapapun yang menang kita akan merasa bahagia dan tetap terhibur dengan permainan yang kita saksikan.

Saudaraku, sudah sepantasnya dan seharusnya segala bentuk militansi dan fanatisme kita cukupkan untuk dien (agama) ini saja, untuk Alloh semata sebagaimana yang sering kita dengar dan ucapkan,

إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
   
"Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Robb semesta alam.” (QS Al An’am : 162)

Tidak untuk selainNya, karena tujuan kita diciptakan oleh Alloh bukanlah untuk memuja cinta, wanita, atau sebuah klub sepak bola melainkan untuk beribadah kepadaNya, kepada Alloh Subhanahu wata’ala Robb semesta alam. (nawizam)

10 Jun 2013


Sabtu sore kemarin saya mendapat sms dari teman yang memberitahukan bahwa salah seorang sahabat terbaik kami semasa di SMA dulu telah meninggal dunia di Cikarang. Rasa kaget, bingung, dan setengah tidak percaya-pun bercampur menjadi satu. Saya putuskan untuk menghubungi teman-teman yang lain untuk memastikan kebenaran kabar tersebut namun apa yang terjadi sungguh sangat tidak mengenakkan, kalau istilahnya Pak Kus (guru kimia SMA saya) mungkin ini yang namanya “the law of dilalah” ya, hukum ndilalah. Beberapa teman yang saya kirim sms tidak ada yang memberi balasan hingga kuota paket sms saya habis. Saya putuskan untuk menelpon eh… ndilalah pulsa habis pula, segera saya minta bantuan tukang pulsa untuk mengisi pulsa, eh… ndilalah pending dan nggak nyampe-nyampe. Tring… kemudian muncul ide untuk mengontak teman via BBM, eh.. eh.. tunggu dulu, saya kan nggak punya BB?! haduuuh…. terlalu…

akhirnya kepastian kebenaran kabar meninggalnya sahabat kami tersebut datang lewat facebook, saya lihat di timeline facebook-nya sudah banyak ucapan belasungkawa dan doa dari rekan-rekan yang lain. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un… selamat jalan sahabatku, semoga Alloh mengampuni dosa-dosamu, memaafkan kesalahanmu, memberikan tempat yang mulia bagimu, serta melapangkan kuburmu.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ [وَعَذَابِ النَّارِ

---o0o---

keesokan harinya saya bersama beberapa teman ta’ziyah ke rumah duka yang lokasinya tidak jauh dari perlintasan kereta api Kutowinangun. Pada kesempatan itu saya bisa berjumpa dengan beberapa teman sewaktu di SMP-SMA (sungguh, ini bukan tujuan utama saya datang ta’ziyah tetapi cukup menyenangkan bisa bersama-sama mereka lagi meski dalam suasana duka). Menjelang dzuhur acara pemakaman selesai dan sayapun kembali ke rumah dengan membawa begitu banyak hikmah dan ibrah. Saya tak habis pikir, jika seandainya ketika itu saya yang meninggal dunia. Timbul pertanyaan besar di benak saya. APA YANG SUDAH ENGKAU PERSIAPKAN? astaghfirullohal ‘adzim….

Bukankah kematian itu pasti? bukankah kematian itu jika sudah waktunya tidak ada lagi kata “nanti”? bukankah kematian itu datangnya tanpa permisi? bukankah…. ah .. sudah sering diri ini melihat kematian tetapi sesering itu pula diri ini lalai mempersiapkan bekal untuk menjemputnya. Cukuplah kematian sebagai nasihat, cukuplah kematian menjadi pengingat bahwasannya dunia ini hanya sesaat dan yang kekal itu adalah akhirat. Yaa Ghoffar… ighfirli..

Sore hari saat berbincang-bincang dengan kakak, saya sampaikan kisah meninggalnya sahabat saya. Saya juga katakan bahwa dia baru saja menikah beberapa bulan lalu, tiba-tiba keponakan saya yang masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar menyaut “alhamdulillah….” karena merasa aneh dan kaget saya berkata padanya “hush… kok alhamdulillah? bukannya innalillah?”. Keponakan saya menjawab “alhamdulillah temen Om meninggal setelah menikah, coba kalau belum menikah terus meninggal? Bakalan berdosa dia Om!Duarrr….. bagai disambar gledhek di siang bolong, dan saya pun bengong… astaghfirulloh… mak jleb sekali perkataan keponakan saya ini. Sekali lagi saya yakin bahwa nasihat datangya bisa kapan saja, dimana saja dan melalui siapa saja, bahkan melalui seorang anak kecil yang belum baligh-pun bisa. Hmm… belum tau dia kalau Omnya sedang berjuang keras untuk menggenapkan separuh diennya (batin saya). :)

Allohumma yassir umurona…
(nawizam)