Istilah “mantan” dalam KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia) sebenarnya berarti “bekas pemangku jabatan (kedudukan)”
namun dalam keseharian kita terutama anak muda, istilah mantan itu selalu
konotasinya mengarah ke “bekas pacar/gebetan”. Yah.. begitulah kita
sering mendengar dan menggunakan kata “mantan” tersebut untuk menyebut
seseorang yang sudah tidak kita miliki lagi. Pada hari Minggu, 9 Juni 2013 lalu
digelar pertandingan bertema Corazon Classic Match
antara Real Madrid Legend vs Juventus Legend. Dalam pertandingan tersebut
mempertemukan para legenda hidup dari kedua tim sepakbola asal Eropa tersebut.
Beberapa pemain yang tampil dalam laga tersebut sangat saya kenal (atau lebih
tepatnya tahu) terutama para punggawa Juventus yang bermain di akhir era 90-an
seperti Moreno Toricelli, Paolo Montero, Angelo Peruzzi, Zinedine Zidane, dan
lain sebagainya.
Saya sangat mengenali wajah-wajah mereka karena memang sejak
duduk di bangku sekolah dasar saya sudah gemar menyaksikan sepak bola Eropa,
khususnya liga Italia Serie-A (karena pada waktu itu begitu heboh di negeri
kita). Nah, satu-satunya klub yang saya sukai ketika itu adalah
Juventus. Saking
sukanya saya dengan klub asal kota Turin tersebut sampai-sampai ayah saya (Allohu yarkham)
selalu memanggil dengan sebutan “pentus” saat
membangunkan saya. Tidak hanya itu, saya selalu mengikuti perkembangan klub
tersebut mulai dari nama para pemain berikut nomor punggunya saya hafal di luar
kepala ketika itu dan saya selalu membanggakan mereka di depan teman-teman pendukung
tim lain. Hal itu terus berlangsung hingga saya remaja dan beranjak dewasa.
Nah, kembali lagi ke
urusan mantan. Dahulu, karena saking cintanya saya dengan klub berjuluk La
Vecchia Signora (Si Nyonya Tua) alias Juventus maka seolah-olah Juventus adalah
kekasih saya. Saya akan bahagia ketika tim meraih kemenangan demi kemenangan serta
kejuaraan dan akan sedih ketika tim tersebut kalah. Ternyata fenomena seperti
ini tidak hanya saya seorang yang mengalaminya, beberapa teman juga ada yang
berperilaku demikian. Bahkan pernah ketika SMP dulu ada teman yang tidak masuk
sekolah hanya karena tim kesayangannya kalah dan dia malu kalau-kalau menjadi
bahan ejekan teman-teman lainnya di sekolah. Ada
pula teman yang rela nraktir bakso atau mie ayam
karena tim
kesayangannya menjadi juara kompetisi di akhir musim. Masya Alloh….
kalau teringat kejadian-kejadian itu saya
sering senyum-senyum sendiri (tentunya setelah memilih tempat dan waktu yang
tepat, hehe…)
Seiring berjalannya waktu dan semakin beranjak dewasa saya
mulai berpikir bahwa apa yang selama ini saya lakukan itu tidak baik dan tidak
sesuai dengan fitrah sebagai seorang muslim. Fanatisme dan militansi yang
tidak semestinya saya berikan kepada tim sepak bola yang tidak memberikan
manfaat apa-apa pada kehidupan saya sudah melalaikan dari apa yang semestinya
saya berikan untuk dien (agama) dan untuk Alloh. Semakin
hari semakin jauh dan semakin renggang hubungan saya dengan Juventus dan
akhirnya dengan berat hati saya katakan “putus” dari Juventus dan segala bentuk
fanatisme serta
militansi kepadanya yang selama ini saya berikan, hiks.. hiks… (nglebay).
Lama sekali tidak mengikuti perkembangan informasi tentang
klub tersebut membuat saya terkejut ketika pada 2011 lalu mendengar kabar bahwa
“mantan kekasih” meraih gelar scudetto-nya yang ke 30 setelah sempat
terbenam ke Serie-B karena kasus Calciopoli. Tersirat rasa bahagia dalam
diri ini layaknya mendapat kabar gembira dari seseorang yang pernah dicintai
selama bertahun-tahun di masa lalu namun segera saya sadar bahwa toh itu tidak
akan mempengaruhi kehidupan pribadi saya. Apakah ini pertanda saya sudah bisa move
on darinya? hehe… Sebagai penggemar sepak bola akan lebih nyaman ketika kita
menyaksikan sebuah pertandingan tanpa adanya fanatisme (berlebihan) pada tim
tertentu, itu berarti bahwa siapapun yang menang kita akan merasa bahagia dan
tetap terhibur dengan permainan yang kita saksikan.
Saudaraku, sudah
sepantasnya dan seharusnya segala bentuk militansi
dan fanatisme kita cukupkan untuk dien (agama) ini
saja, untuk Alloh semata sebagaimana yang sering kita dengar dan ucapkan,
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
"Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Alloh, Robb semesta alam.” (QS Al An’am : 162)
Tidak untuk selainNya, karena
tujuan kita diciptakan oleh Alloh bukanlah untuk memuja cinta, wanita, atau
sebuah klub sepak bola melainkan untuk beribadah kepadaNya, kepada Alloh Subhanahu
wata’ala Robb semesta alam. (nawizam)