Saat ini kita berada di bulan Rajab, salah satu bulan yang
diistimewakan oleh umat Islam. Pada bulan inilah terjadi peristiwa bersejarah
bagi kaum muslimin yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj. Dimana Rosululloh Sholallohu ‘alaihi
wasallam menempuh perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa kemudian
dinaikkan hingga langit ke tujuh hanya dalam waktu satu malam. Tidak hanya itu,
di bulan ini (Rajab) juga untuk pertama kalinya Rosululloh mendapatkan perintah
Shalat lima waktu.
Istilah “berkat” ini berarti nasi lengkap dengan lauk pauk yang di bungkus dalam satu wadah atau di daerah lain ada yang menyebutnya “besek”
Untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut, di
beberapa tempat menyelenggarakan peringatan Isra’ Mi’raj. Umumnya peringatan
Isra’ Mi’raj diisi dengan pengajian (tausiyah) yang dihadiri oleh kaum
muslimin. Ada fenomena yang menarik terkait peringatan Isra’ Mi’raj di daerah
saya, ada sebagian masyarakat yang mengadakan pengajian dan membuat “berkat” sebagai shodaqohan. Istilah “berkat” ini berarti nasi lengkap dengan
lauk pauk yang di bungkus dalam satu wadah atau di daerah lain ada yang
menyebutnya “besek”. Berkat atau Besek atau apapun itu namanya dibagikan kepada peserta pengajian
yang hadir sebagai “oleh-oleh” dari acara peringatan Isra’ Mi’raj tersebut.
Tidak hanya itu, ada di suatu daerah yang masyarakatnya masih memegang erat
tradisi turun temurun. Mereka membuat “berkat”
dengan isi yang luar biasa banyaknya. Kalau umumnya berkat berisi nasi dengan lauk seadanya, mereka melengkapinya
dengan minuman dalam kemasan, terkadang adapula sarung bahkan pakaian. Kalau menurut saya hal ini agak sedikit berlebihan (terlepas
saya tidak tau apa motivasi mereka melakukan hal itu).
Foto: penampakan "berkat"
Ngaji
atau pengajian itu seharusnya yang menjadi tujuan utamanya adalah mencari ilmu
dan keberkahan karena menghadiri majelis ilmu. Tetapi siapa yang bisa menjamin
jika niatan mencari ilmu itu bisa tetap terjaga ketika ada panitia yang “sengaja”
berlomba-lomba dalam menyediakan “berkat”
istimewa? Atau, kalaupun peserta yang hadir tidak mempermasalahkan berkat yang akan mereka dapatkan apakah
para warga masyarakat penyelenggara semuanya legowo menuruti instruksi
panitia untuk membuat berkat jenis
ini dan itu sebanyak yang dibebankan kepadanya? Oleh karena itu, saya mengajak
(terutama) diri saya sendiri dan kita semua untuk berfikir kembali. Niat yang
baik sudah seharusnya diikuti dengan perbuatan yang baik pula. Jangan mengalihkan
niat untuk mencari ilmu hanya karena ada embel-embel berkat yang hendak di dapat. Bagi penyelenggara juga hendaknya
dikoreksi kembali, apakah kebijakan yang diterapkan selama ini sudah melalui
pemikiran matang untuk kemaslahatan bersama atau hanya mengikuti tradisi dan
kebiasaan yang sudah ada.
Sedikit
banyaknya peserta yang hadir bukanlah semata-mata indikator kesuksesan sebuah
acara pengajian (majelis ilmu) tetapi lebih dari itu, bagaimana hadirin bisa
menyerap ilmu yang diberikan Sang Da’I serta memperoleh ridho Alloh Subhanahu
wata’ala karena niat yang ikhlas karena Alloh bukan karena besar kecilnya “berkat” yang didapat. Tulisan ini saya
buat semata-mata karena kekhawatiran akan adanya disorientasi dalam masalah
pengajian “semacam” ini. Yang seharusnya niat karena Alloh menjadi karena yang
lainnya. Sebenarnya kita tidak perlu berlomba-lomba dalam keistimewaan berkat jika kita semua sadar dan mau
berbesar hati untuk mengakui bahwa esensi/inti dari acara pengajian adalah
mencari ilmu dan ridho Alloh Subhanahu wata’ala. Kenapa kita tidak berfikir
untuk semakin menyederhanakan “berkat”
nya saja, misal diganti dengan snack sehingga masyarakat dari kalangan
menengah kebawah tidak merasa terbebani. Saya yakin sebagian masyarakat ada
yang merasa terbebani dengan ketentuan membuat “berkat” ini dan itu sejumlah tertentu namun sayangnya tidak banyak
yang berani mengungkapkannya kepada panitia penyelenggara. Atau kalaupun berani
belum tentu pihak panitia mau mengoreksi kebijakannya dengan dalih mengikuti
tradisi yang ada. Wallohu a’lam bisshowab. (nawizam)
0 komentar:
Posting Komentar